Tanggal 16 September 2013
Tentang: The Power Of Media Use and Abuse
Pembicara: Irwan Julianto, Vice Editor of Opinion Page at
Harian Kompas
Media
lama atau media konvensional contohnya seperti TV, koran, radio, film dan buku
sedangkan media baru ditandai dengan kemajuan teknologi. Media yang sadis itu
dapat dikatakan media sosial, akan tetapi media itu bukan musuh melainkan
mitra.
Para wartawan yang sebenarnya memang dididik untuk
menjadi sosok seseorang yang kritis dan skeptis, mereka tidak selalu sadis
dalam pemberitaannya hanya saja karena berita dapat menjadi sesuatu hal yang
sensitive. Hal-hal yang demikian membuat wartawan memiliki pengalaman dan
kompetensi yang bervariasi karena beragamnya keadaan dan situasi yang mereka
temui selalu banyak hal baru untuk dimasukan dalam daftar pengalaman nya.
Media social tidak selalu menjadi media yang dianggap
tidak memiliki kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan namun sebenarnya , berita
dapat diperkuat melalui media sosial dan yang menjadi berita bukan hanya fakta
tapi yang menjadi utama adalah makna. Contohnya koran yang terbit 1x24 jam maka
koran perlu menyusun pemberitaannya agar bermakna bagi masyarakat dengan
melibatkan sosial.
Banyak hal yang dapat menjadi sebuah berita, seperti
drama kehidupan, hal yang mengacu pada konflik , tentang bencana dan hal - hal
yang memancing emosi seseorang. Hal yang relevan bagi banyak orang juga dapat
dijadikan berita , tidak hanya itu masi banyak hal yang dapat diolah untuk
disajikan sebagai sebuah berita oleh para jurnalis. Namun semua hal ini di
harapkan memiliki makna bukan hanya sebuah fakta belaka.
Menurut
Habermas, Ruang publik (public sphere) adalah ruang di mana terjadi proses
dinamika dialog antarpihak yang egaliter, rasional, demokratis. Public sphere
yang semula merupakan suatu ranah untuk pengembangan konsensus debat publik
yang rasional dan menempatkan media sebagai sarana untuk mengontrol kekuasaan,
berubah menjadi suatu ajang perebutan sumber daya negara. M. Terjadilah proses
pelapukan media sebagai public sphere
oleh kekuatan-kekuatan dominan yang mendikte media: pengusaha (pasar) dan
penguasa negara.
Menurut
Straubhaar et al. (2012:20-24), ciri-ciri media baru, ada enam:
1.
Digital: digitisasi terbukti dapat meningkatkan kualitas transmisi
2.
Interactive (Interaktif): Sekarang ada TV, iklan, website interaktif
3.
Social media (Media sosial): Yaitu media yang isinya diciptakan dan
didistribusikan lewat interaksi sosial.
4.
Asynchronous Communication (Komunikasi asinkronik): Konsumsi media bisa
dilakukan sesuai waktu yg enak bagi tiap orang
5.
Narrowcasting (Menyebar secara sempit): Kini program siaran TV dan radio dapat dipesan secara khusus
sesuai selera pribadi-pribadi.
6.
Multimedia: Media-media lama seperti surat kabar dan majalah kini dapat
menciptakan platform multimedia dengan video on demand, jurnalisme warga
(citizen journalism) dan lain-lain.
Saat
ini masyarakat Indonesia termasuk salah satu pengguna media sosial yang
tertinggi di dunia:
Hingga
tahun 2012 (Nugroho dan Syarief, 2012):
-
Pengguna Twitter > 19,5 juta akun
-
FaceBook: 42,5 juta
-
Blog: 5,3 juta
Menurut
Lister et al (2009), karateristik media baru: digital,
interaktif, hipertekstual, virtual, berjaringan, dan tersimulasi (simulated). Ditandai
dengan perkembangan Internet dan teknologi digital, yang merupakan lompatan dan
revolusi. Masyarakat informasi pun menjadi masyarakat dengan kultur digital.
Kekuasaan dan pengaruh media massa yang tadinya terletak di tangan media, kini
berada di tangan massa atau khalayak. Informasi yang tadinya bersifat ”One to
many” berubah menjadi ”many to many”. Salah satu wujud media baru adalah media
sosial, yaitu media yang isinya diciptakan dan didistribusikan lewat interaksi
sosial.
No comments:
Post a Comment