Saturday, November 9, 2013

Hukum dan Politik



Tanggal 4 November 2013
Tentang : Hukum dan Politik
Pembicara: Tri Agung Kristanto



Tahun 2013 sampai tahun 2014 merupakan tahun politik, mengapa? Hal ini dikarenakan pemilu yang dilangsungkan pada April 2014. Membuat begitu banyak partai politik yang saling berlomba-lomba memberitakan informasi mengenai para calon kandidat pemilu. Pemilihan umum presiden dan wakil nya, memberikan dampak kepada pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Indonesia telah menetapkan moratorium atau pemberhentian pemekaran wilayah, telah ada 567 kabupaten dan kota di Indonesia. 2 daerah yang kepala daerahnya terpaksa harus menggelar Pilkada lebih awal sebelum masa jabatannya berakhir. Hal ini terjadi pada daerah Jawa timur dan Lampung. Sebenarnya ada lebih kurang 17 daerah yang mengalami kejadian yang sama, pemilihan gubernur dan wakil gubernur “terpaksa” harus diadakan lebih awal, yakni tahun 2013. 

Dengan dimajukan Pilkada partai politik berlomba-lomba untuk menempatkan kader pilihannya di berbagai daerah sebagai pemimpin daerah. Kemenangan partai politik pada pilkada menambah kepercayaan diri pada parpol dan jaringannya. Ada harapan yang tumbuh saat partai tersebut memenangkan Pilkada di daerah, untuk menang dalam Pemilu Legeslatif di daerah yang dipimpin oleh kadernya. Lirikan partai politik dan tokoh politik ke daerah, sejak tahun ini, juga tidak terlepas dari strategi untuk memenangkan Pemilihan  Umum Legeslatif. Sebab suara terbanyak untuk Pemilu bukan terletak di kota Jakarta melainkan di daerah lainnya. Jumlah penduduk di kota Jakarta lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemilih di daerah. Karena itu kemenangan pada wilayah Jakarta hanya terkait pada sebuah rasa kebanggaan saja. 

Dengan alasan ini semua hampir semua parpol menempatkan calon anggota legislative utamanya di daerah. Contohnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menempatkan Puan Maharani di Jawa Tengah dan Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas) di Jawa Timur, karena mereka pasti hampir terpilih. Bayangkan jika “darah biru” parpol tidak terpilih. Selain itu, suara terbanyak untuk dapat mendukung kemenangan pemilihan umum legislatif, ada di daerah, terutama di enam (6) dengan jumlah penduduk atau kursi DPR terbesar. Karena jumlah suara yang tidak terlampau signifikan dengan  tipe pemilih yang cenderung kritis dan merepotkan, DKI Jakarta kurang mendapat lirikan dari parpol, dan juga pasangan calon presiden kedepan.



Keenam daerah yang mendapat lirikan dari banyak Partai Politik yakni,
1.     Jawa Barat dengan jumlah pemilih kurang lebih sekitar 33 juta jiwa.
2.     Jawa Timur dengan jumlah pemilih sekitar 30 juta jiwa
3.     Jawa Tengah dengan jumlah pemilih sekitar 28 juta jiwa
4.     Sumatera Timur dengan jumlah pemilih kurang lebih 30 juta jiwa pemilih
5.     Banten yang jumlah pemilih sekitar 9,8 juta jiwa
6.     Terakhir ada, Sulawesi Selatan dengan jumlah pemilih sekitar 8 juta jiwa pemilih.

Sungguh jumlah yang lebih besar bila dibandingkan dengan pemilih di DKI Jakarta yang memiliki jumlah kursi cukup banyak.  Sebuah partai politik atau calon persiden dan wakil yang memenangkan 20 persen dari total suara di keenam provinsi di atas, secara nasional telah memenangkan sekitar 12 persen dari total suara nasional, tanpa memperdulikan 28 provinsi lainnya.

Partai politik lokal berbeda dengan partai politik nasional, perbedaannya adalah partai politik lokal hanya ada di kota itu saja, jadi untuk ikut pemilihan umum perisiden hanya partai politik nasioanal. Partai politik lokal hanya dapat mengikuti pemilihan umum tingkat provinsi atau kota.

Contoh partai-partai politik nasional yang dapat mengikuti pemilu presiden seperti, partai NasDem, PKS, Hanura, PDI-P, Partai Demokrat, P3, Gerindra, PKB, PKPI, PBB, Golkar, dan PAN. Inilah partai-partai yang dapat mengikuti pemilihan umum presiden dan wakilnya. Diperkirakan pemilihan umum presiden dan wakilnya akan diikuti oleh 15 partai politik. 

No comments:

Post a Comment