Tanggal
4 November 2013
Tentang
: Hukum dan Politik
Pembicara:
Tri Agung Kristanto
Tahun
2013 sampai tahun 2014 merupakan tahun politik, mengapa? Hal ini dikarenakan pemilu
yang dilangsungkan pada April 2014. Membuat begitu banyak partai politik yang
saling berlomba-lomba memberitakan informasi mengenai para calon kandidat
pemilu. Pemilihan umum presiden dan wakil nya, memberikan dampak kepada
pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Indonesia telah menetapkan moratorium
atau pemberhentian pemekaran wilayah, telah ada 567 kabupaten dan kota di
Indonesia. 2 daerah yang kepala daerahnya terpaksa harus menggelar Pilkada
lebih awal sebelum masa jabatannya berakhir. Hal ini terjadi pada daerah Jawa
timur dan Lampung. Sebenarnya ada lebih kurang 17 daerah yang mengalami
kejadian yang sama, pemilihan gubernur dan wakil gubernur “terpaksa” harus
diadakan lebih awal, yakni tahun 2013.
Dengan
dimajukan Pilkada partai politik berlomba-lomba untuk menempatkan kader
pilihannya di berbagai daerah sebagai pemimpin daerah. Kemenangan partai
politik pada pilkada menambah kepercayaan diri pada parpol dan jaringannya. Ada
harapan yang tumbuh saat partai tersebut memenangkan Pilkada di daerah, untuk
menang dalam Pemilu Legeslatif di daerah yang dipimpin oleh kadernya. Lirikan
partai politik dan tokoh politik ke daerah, sejak tahun ini, juga tidak
terlepas dari strategi untuk memenangkan Pemilihan Umum Legeslatif. Sebab suara terbanyak untuk
Pemilu bukan terletak di kota Jakarta melainkan di daerah lainnya. Jumlah
penduduk di kota Jakarta lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pemilih
di daerah. Karena itu kemenangan pada wilayah Jakarta hanya terkait pada sebuah
rasa kebanggaan saja.
Dengan
alasan ini semua hampir semua parpol menempatkan calon anggota legislative
utamanya di daerah. Contohnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
menempatkan Puan Maharani di Jawa Tengah dan Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas) di
Jawa Timur, karena mereka pasti hampir terpilih. Bayangkan jika “darah biru”
parpol tidak terpilih. Selain itu, suara terbanyak untuk dapat mendukung
kemenangan pemilihan umum legislatif, ada di daerah, terutama di enam (6)
dengan jumlah penduduk atau kursi DPR terbesar. Karena jumlah suara yang tidak
terlampau signifikan dengan tipe pemilih
yang cenderung kritis dan merepotkan, DKI Jakarta kurang mendapat lirikan dari
parpol, dan juga pasangan calon presiden kedepan.
Keenam
daerah yang mendapat lirikan dari banyak Partai Politik yakni,
1. Jawa
Barat dengan jumlah pemilih kurang lebih sekitar 33 juta jiwa.
2. Jawa
Timur dengan jumlah pemilih sekitar 30 juta jiwa
3. Jawa
Tengah dengan jumlah pemilih sekitar 28 juta jiwa
4. Sumatera
Timur dengan jumlah pemilih kurang lebih 30 juta jiwa pemilih
5. Banten
yang jumlah pemilih sekitar 9,8 juta jiwa
6. Terakhir
ada, Sulawesi Selatan dengan jumlah pemilih sekitar 8 juta jiwa pemilih.
Sungguh
jumlah yang lebih besar bila dibandingkan dengan pemilih di DKI Jakarta yang
memiliki jumlah kursi cukup banyak.
Sebuah partai politik atau calon persiden dan wakil yang memenangkan 20
persen dari total suara di keenam provinsi di atas, secara nasional telah
memenangkan sekitar 12 persen dari total suara nasional, tanpa memperdulikan 28
provinsi lainnya.
Partai
politik lokal berbeda dengan partai politik nasional, perbedaannya adalah
partai politik lokal hanya ada di kota itu saja, jadi untuk ikut pemilihan umum
perisiden hanya partai politik nasioanal. Partai politik lokal hanya dapat
mengikuti pemilihan umum tingkat provinsi atau kota.
Contoh
partai-partai politik nasional yang dapat mengikuti pemilu presiden seperti,
partai NasDem, PKS, Hanura, PDI-P, Partai Demokrat, P3, Gerindra, PKB, PKPI,
PBB, Golkar, dan PAN. Inilah partai-partai yang dapat mengikuti pemilihan umum
presiden dan wakilnya. Diperkirakan pemilihan umum presiden dan wakilnya akan
diikuti oleh 15 partai politik.
No comments:
Post a Comment